Membentuk Identitas Nasional: Memahami Konsep ‘Bangsa Sejarah’ dalam Kurikulum Sejarah Kelas 10 Semester 2 KTSP
Pendahuluan: Mengapa Sejarah Membentuk Sebuah Bangsa?
Sejarah bukanlah sekadar deretan peristiwa masa lalu yang membosankan, melainkan jantung dan jiwa sebuah bangsa. Bagi siswa Kelas 10, khususnya dalam kurikulum KTSP Semester 2, pemahaman tentang bagaimana sebuah entitas geografis bernama Nusantara bertransformasi menjadi Republik Indonesia yang berdaulat adalah inti dari pembelajaran sejarah. Konsep "Bangsa Sejarah" bukan merujuk pada sebuah bangsa yang hidup di masa lalu, melainkan sebuah bangsa yang identitasnya, nilai-nilainya, dan bahkan cita-citanya terbentuk melalui rentetan peristiwa sejarah yang panjang dan kompleks. Indonesia adalah contoh nyata dari sebuah "Bangsa Sejarah," di mana setiap jejak langkah dari zaman prasejarah hingga era modern turut membentuk karakter dan jati diri kita saat ini.
![]()
Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana kurikulum Sejarah Kelas 10 Semester 2 KTSP secara sistematis memperkenalkan siswa pada proses pembentukan "Bangsa Sejarah" Indonesia. Kita akan menelusuri periode-periode krusial yang meliputi masa kerajaan Hindu-Buddha, masuknya Islam dan pembentukan kesultanan, hingga era penjajahan yang melahirkan kesadaran kebangsaan, dan akhirnya proklamasi kemerdekaan. Setiap babak dalam sejarah ini adalah kepingan puzzle yang esensial dalam memahami mengapa Indonesia adalah sebuah bangsa yang majemuk, kaya budaya, dan memiliki semangat persatuan yang kuat.
I. Fondasi Awal: Jejak Prasejarah dan Peradaban Awal di Nusantara (Tinjauan Singkat)
Meskipun sebagian besar materi ini tercakup di Semester 1, penting untuk mengulang sekilas bahwa jauh sebelum terbentuknya kerajaan-kerajaan besar, Nusantara telah dihuni oleh manusia prasejarah. Kehidupan mereka yang nomaden hingga mulai menetap, membentuk komunitas, dan mengembangkan kebudayaan awal (seperti alat batu, kepercayaan animisme-dinamisme, hingga megalitikum) adalah fondasi pertama. Interaksi antar kelompok, adaptasi terhadap lingkungan, dan pengembangan sistem sosial sederhana mulai menanamkan benih-benih identitas kolektif di wilayah yang luas ini. Mereka adalah nenek moyang kita, yang melalui cara hidup mereka, mulai membentuk karakteristik dasar masyarakat di kepulauan ini: adaptif, komunal, dan dekat dengan alam. Ini adalah awal dari "cerita bersama" yang akan terus berkembang.
II. Era Kerajaan Hindu-Buddha: Pilar Peradaban dan Integrasi Awal (Fokus Utama Semester 2)
Semester 2 KTSP biasanya dimulai dengan pembahasan mendalam mengenai pengaruh peradaban India di Nusantara, yang melahirkan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Periode ini adalah salah satu tonggak terpenting dalam pembentukan "Bangsa Sejarah" Indonesia.
-
Pengaruh India dan Akulturasi Budaya:
Masuknya agama Hindu dan Buddha, beserta sistem tata negara, aksara, sastra, dan seni dari India, tidak serta merta menghapus kebudayaan lokal. Sebaliknya, terjadi proses akulturasi yang kaya, di mana unsur-unsur asing diserap dan disesuaikan dengan kearifan lokal. Ini menunjukkan kemampuan masyarakat Nusantara untuk menerima, mengolah, dan memperkaya budayanya, sebuah ciri khas yang akan terus terlihat dalam sejarah Indonesia. -
Kerajaan Sriwijaya: Imperium Maritim dan Simpul Perdagangan:
Berpusat di Sumatera, Sriwijaya (abad ke-7 hingga ke-13 M) adalah kerajaan maritim yang menguasai jalur perdagangan internasional di Selat Malaka. Keberadaan Sriwijaya menunjukkan potensi ekonomi dan kekuatan politik yang luar biasa di Nusantara. Sebagai pusat pembelajaran agama Buddha dan perdagangan, Sriwijaya berhasil menyatukan berbagai etnis di bawah kekuasaannya, menciptakan sebuah konsep awal persatuan di wilayah yang luas. Ini adalah bukti pertama bahwa kepulauan ini dapat disatukan oleh kekuatan maritim dan ekonomi, bukan hanya batas geografis. -
Kerajaan Mataram Kuno: Pusat Peradaban Agraris dan Seni Religius:
Di Jawa Tengah dan kemudian Jawa Timur, Mataram Kuno (abad ke-8 hingga ke-10 M) dikenal sebagai kerajaan agraris yang membangun candi-candi megah seperti Borobudur (Buddha) dan Prambanan (Hindu). Pembangunan monumen-monumen ini tidak hanya menunjukkan kecanggihan teknologi dan seni, tetapi juga kekuatan spiritual dan organisasi masyarakat yang tinggi. Mataram Kuno merefleksikan identitas agraris dan spiritual yang mendalam pada sebagian besar masyarakat Jawa, yang akan terus berlanjut hingga masa Islam. -
Kerajaan Majapahit: Puncak Kejayaan dan Konsep "Nusantara":
Majapahit (abad ke-13 hingga ke-15 M) adalah puncak kejayaan kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, Majapahit berhasil menyatukan sebagian besar wilayah yang kini menjadi Indonesia melalui "Sumpah Palapa." Konsep "Nusantara" sebagai satu kesatuan wilayah yang dikuasai Majapahit menjadi cikal bakal gagasan negara kesatuan Indonesia modern. Karya sastra seperti Kitab Negarakertagama oleh Mpu Prapanca dan Sutasoma oleh Mpu Tantular, dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika," adalah warisan tak ternilai yang menegaskan prinsip persatuan dalam keberagaman, yang menjadi pilar ideologi bangsa Indonesia.
Periode Hindu-Buddha ini membentuk landasan kuat bagi "Bangsa Sejarah" Indonesia: kemampuan beradaptasi dengan budaya asing, potensi maritim, kekayaan agraris, seni religius yang tinggi, dan yang terpenting, embrio konsep persatuan wilayah yang luas.
III. Kedatangan Islam dan Transformasi Sosial-Politik
Setelah masa Hindu-Buddha, masuknya Islam membawa perubahan fundamental dalam struktur sosial, politik, dan kebudayaan masyarakat Nusantara.
-
Penyebaran Islam yang Damai dan Inklusif:
Islam menyebar ke Nusantara melalui jalur perdagangan, dakwah, dan perkawinan, bukan melalui penaklukan militer. Karakteristik penyebaran yang damai ini memungkinkan Islam berakulturasi dengan budaya lokal yang sudah ada, menghasilkan corak Islam Nusantara yang unik, moderat, dan inklusif. Para Walisongo di Jawa adalah contoh utama bagaimana Islam disebarkan dengan pendekatan budaya. -
Pembentukan Kesultanan-Kesultanan Islam:
Munculnya kesultanan-kesultanan Islam seperti Samudera Pasai, Demak, Aceh, Ternate, Tidore, hingga Mataram Islam di Jawa, mengubah peta politik Nusantara. Kesultanan-kesultanan ini tidak hanya menjadi pusat penyebaran agama, tetapi juga pusat kekuasaan politik, perdagangan, dan kebudayaan baru. Mereka memperkenalkan sistem hukum Islam (syariat), arsitektur masjid, seni kaligrafi, dan tradisi keilmuan Islam. -
Penguatan Jaringan dan Identitas Bersama:
Islam memperkuat jaringan perdagangan antar pulau dan antar bangsa, serta menciptakan identitas keagamaan bersama yang melintasi batas-batas etnis. Meskipun masih terpecah dalam berbagai kesultanan, ikatan keislaman memberikan dimensi baru pada persatuan masyarakat di Nusantara, yang akan menjadi salah satu faktor penting dalam perlawanan terhadap penjajah. Nilai-nilai keadilan sosial, persamaan, dan solidaritas yang diajarkan Islam juga turut membentuk karakter masyarakat Indonesia.
IV. Penjajahan dan Lahirnya Kesadaran Kebangsaan
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris) pada abad ke-16 membawa babak baru yang kelam namun krusial dalam pembentukan "Bangsa Sejarah" Indonesia.
-
Eksploitasi dan Penindasan:
Dimulai dengan monopoli perdagangan rempah-rempah oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan kemudian dilanjutkan dengan penjajahan langsung oleh Pemerintah Kolonial Belanda, Nusantara mengalami eksploitasi sumber daya alam dan penindasan yang sistematis. Kebijakan-kebijakan seperti tanam paksa (Cultuurstelsel) dan kerja paksa (Rodi) membawa penderitaan yang luar biasa bagi rakyat. -
Perlawanan Lokal dan Benih Nasionalisme:
Meskipun penjajahan menyebabkan perpecahan dan penderitaan, secara paradoks, ia juga menanamkan benih-benih kesadaran kebangsaan. Perlawanan-perlawanan sporadis dari berbagai daerah (Pattimura, Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar) menunjukkan semangat perlawanan yang tak pernah padam. Namun, perlawanan ini seringkali bersifat kedaerahan dan belum terorganisir secara nasional. -
Munculnya Pergerakan Nasional:
Abad ke-20 menjadi era kebangkitan nasional. Pendidikan Barat yang didapatkan oleh sebagian kecil pribumi, serta perkembangan media cetak dan organisasi modern, melahirkan tokoh-tokoh yang mulai memikirkan nasib bangsa secara keseluruhan. Organisasi-organisasi seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam, Indische Partij, hingga Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin Soekarno, mulai menyuarakan persatuan, kemerdekaan, dan pembentukan sebuah negara bangsa. Mereka adalah pelopor yang mengubah kesadaran kedaerahan menjadi kesadaran nasional. Penjajahan, dengan segala kekejamannya, telah menciptakan musuh bersama yang akhirnya menyatukan berbagai etnis dan agama di Nusantara dalam satu cita-cita: Indonesia Merdeka.
V. Menuju Kemerdekaan: Puncak Perjalanan ‘Bangsa Sejarah’
Perjalanan panjang "Bangsa Sejarah" Indonesia mencapai puncaknya di pertengahan abad ke-20.
-
Sumpah Pemuda (1928): Deklarasi Identitas Nasional:
Kongres Pemuda II pada tahun 1928 menghasilkan Sumpah Pemuda, sebuah ikrar sakral yang menyatakan "Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa: Indonesia." Ini adalah momen krusial di mana para pemuda dari berbagai latar belakang etnis dan agama secara eksplisit mendeklarasikan identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia, melampaui sekat-sekat primordial. Sumpah Pemuda bukan hanya janji, tetapi pernyataan tegas tentang eksistensi sebuah bangsa yang akan lahir. -
Pendudukan Jepang dan Katalis Kemerdekaan:
Pendudukan Jepang (1942-1945) yang singkat namun keras, secara tidak langsung menjadi katalis bagi kemerdekaan. Jepang melatih pemuda-pemuda Indonesia secara militer dan memberikan kesempatan bagi para pemimpin nasionalis untuk berorganisasi dan menyebarkan gagasan kemerdekaan. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II menciptakan vacuum of power yang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para proklamator. -
Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945): Terwujudnya Cita-Cita:
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini bukan sekadar pernyataan bebas dari penjajahan, melainkan puncak dari ribuan tahun sejarah, akulturasi budaya, perjuangan, dan pembentukan kesadaran kolektif. Ini adalah penegasan bahwa "Bangsa Sejarah" Indonesia telah mencapai kedewasaan dan berhak menentukan nasibnya sendiri.
VI. Refleksi: Makna ‘Bangsa Sejarah’ bagi Indonesia Kini
Memahami "Bangsa Sejarah" Indonesia adalah kunci untuk memahami jati diri kita sebagai warga negara. Dari periode prasejarah yang membentuk dasar kehidupan komunal, kerajaan Hindu-Buddha yang menanamkan benih persatuan dan peradaban tinggi, masuknya Islam yang memperkaya budaya dan membentuk jaringan solidaritas, hingga era penjajahan yang menyatukan perlawanan dan melahirkan kesadaran kebangsaan, setiap episode adalah bagian tak terpisahkan dari narasi besar Indonesia.
Konsep Bhinneka Tunggal Ika, yang berakar pada masa Majapahit dan ditegaskan kembali oleh para pendiri bangsa, adalah cerminan dari perjalanan panjang ini. Indonesia adalah bangsa yang dibangun di atas fondasi keberagaman, yang justru menjadi kekuatannya. Sejarah mengajarkan kita bahwa persatuan Indonesia bukanlah sesuatu yang instan, melainkan hasil dari proses akulturasi, perjuangan, dan kesepakatan kolektif yang berlangsung selama berabad-abad.
Kesimpulan: Sejarah sebagai Kompas Masa Depan
Bagi siswa Kelas 10, mempelajari Sejarah Semester 2 KTSP bukan hanya tentang menghafal nama raja, tanggal perang, atau isi sumpah. Lebih dari itu, ini adalah tentang memahami bagaimana sebuah "Bangsa Sejarah" bernama Indonesia terbentuk. Ini adalah tentang menelusuri akar identitas kita, menghargai warisan budaya yang kaya, dan belajar dari perjuangan para pahlawan.
Pemahaman akan "Bangsa Sejarah" Indonesia memberikan kita kompas untuk menghadapi tantangan masa kini dan masa depan. Ia mengajarkan kita pentingnya persatuan di tengah keberagaman, semangat pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan, dan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan memahami sejarah, kita tidak hanya tahu siapa kita, tetapi juga tahu ke mana kita harus melangkah sebagai sebuah bangsa. Indonesia adalah "Bangsa Sejarah" yang terus menuliskan bab-bab barunya, dan generasi muda adalah penulisnya.
